Untukmu


Aku membacanya berulang kali. Satu kali. Lima kali. Sepuluh kali –dan lagi dan lagi tanpa henti. Saat menulis tulisan ini aku bahkan telah menghapal kalimat-kalimat itu di luar kepala. Semakin banyak kubaca, semakin sakit rasanya. Pagi itu aku sadar, aku akan menangis lagi malam ini, karena aku tahu bahwa aku sudah menyakitimu.

Aku melukaimu.
Aku menyakitimu.
Aku yang membuatmu menangis.
Aku mengecewakanmu.
Maaf.

Aku merapalkan kalimat itu tanpa henti, layaknya jampi-jampi para dukun atau mantra para Ibu yang ingin menenangkan anak yang sedang bersedih hati. Dalam benakku aku membayangkan kau harus berpura-pura baik-baik saja seharian kemarin di hadapanku –dan aku tidak tahu itu, maaf. Keegoisanku kurasa sudah menutupi kepekaanku pada sekitar, yang akhirnya berdampak padamu. Bahkan, dalam tangis dan penyesalanku pun keegoisan itu masih ada: muncul dan bertarung dengan pikiranku yang lain, mencoba membenarkan tindakannya pagi yang lalu. Malam ini pun aku tidak tahu siapa yang menang, si egois kah atau si penyesal kah yang memenangkan pertarungan kognitif ini. Dan aku khawatir siapa yang akan jadi korban dari pertarungan ini –setiap perang pasti memiliki korban, yang kuharap bukan kamu atau siapapun disekitarku. Mungkin aku.

Lantas apa yang harus kulakukan nanti ketika kita bertemu? Haruskah aku melakukan kepura-puraan bahwa aku tidak tahu tentang yang kau rasakan? Menipu diriku sendiri dan semuanya.. Atau aku harus datang padamu dan mengatakan: “Hei, aku tahu apa yang kamu rasakan, maafkan perbuatanku. Aku tidak akan mengulanginya lagi”

Hahahahaha. . .. .

‘maafkan perbuatanku.’ Dengan enaknya aku berkata begitu, solah-olah memaafkan kelakukanku itu hanya seperti berkedip atau bernapas atau bersih yang lewat begitu saja. Apakah aku harus meminta maaf langsung padamu? Atau kubiarkan saja? Apakah aku nanti akan menyakitimu? Apakah kau akan memaafkanku? Apakah aku siap kalau kau menjauh?  Berjuta pertanyaan itu berkelebat dalam pikiranku silih berganti, memunculkan visualisasi-visualisasi yang tidak mau berhenti. Mempengaruhi perasaanku seperti air laut yang pasang surut karena dipengaruhi bulan: Aku menyesal-kemudian tidak, aku takut-kemudian tidak. Sedih-lalu tidak. Marah-lalu tidak. Menyesal lagi-lalu tidak. Takut..

Ditengah penyesalah dan rasa bersalahku, si masa lalu muncul. Dia menemukan celah dari benteng egoku yang sedang rapuh. Dan pada akhirnya.. aku mengingat apa yang tidak ingin aku ingat. Si masa lalu muncul sedikit demi sedikit, seperti puzzle atau rangkaian teka-teki yang minta diselesaikan. Saat si masa lalu rampung, aku akhirnya sadar bahwa aku harus siap terbangun dengan mimpi buruk yang sama.

Kupikir… dengan menjadi ‘aku’ yang sekarang aku bisa menciptakan duniaku sendiri. Kupikir ‘diriku’ yang sekarang tidak akan menyakiti orang-orang seperti yang ada di masa lalu. Kupikir aku tidak akan lagi tiba-tiba menangis sendiri seperti dulu, ketika mengingat apa yang telah aku lakukan. Kupikir.. aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Kupikir..

Pada akhirnya aku melakukannya, jatuh pada lubang yang sama, tetapi –lucunya, dengan cara yang berbeda. Namun, aku harus keluar dari lubang itu. Aku tidak bis ada didalam lubang selamanya sambil menengadah menatap langit, berharap kau muncul dengan seutas tali penyelamat atau sekedar uluran tangan. Aku yang terjatuh, dan aku harus keluar tanpa ikut menyeretmu dalam lubang.

Sobat, maafkan aku karena telah menciptakan keberadaanku dalam ruang amygdalamu. Maafkan aku karena telah membuatmu berpura-pura. Maafkan aku.

Postingan populer dari blog ini

Personologi Theory: Henry Murray

Observasi: pengantar 'bagian 1'

Kisah Sehari di Yayasan Sayap Ibu Bintaro