Kisah Sehari di Yayasan Sayap Ibu Bintaro

Hai, hai, haaaaiiiiii >.<

Apa kabar semua? Semoga sehat-sehat aja yee :)
Oke, ada yang pernah dengar soal Yayasan Sayap Ibu? Yayasan Sayap Ibu Cabang Provinsi Banten atau yang biasa disebut YSI Bintaro adalah .... hmmm.. hmmm... tempat luar biasa dimana kamu juga bisa ketemu dengan orng-orang yang luar biasa. Hehehe :)
Info lebih lanjut soal YSI Bintaro klik di sini

Kebetulan semester 3 yang lalu, saya dan teman2 kelas psikologi sosial dapat tugas dari Ibu Safitri untuk mengunjungi dan jadi volunteer di YSI Bintaro ini. Nah, setelah itu kami diminta buat menuliskan pengalaman kami disana. Dibawa ini adalah beberapa kisah yang bisa saya bagi buat kalian. Happy reading :)



KISAH SEHARI

“untuk apa mereka hidup? Sulit bangun dari tempat tidur, harus dibantu setiap waktu, bahkan untuk bergerak saja mereka tampak kesulitan.”
Pak Agus menatap kami satu persatu sambal tersenyum. Lalu dengan mantap beliau menjawab
”tentu saja, untuk kita. Iya kan?”
~*~
Aku duduk dikursi belakang sambil menutup mata. Masih teringat dengan jelas apa yang kami lakukan satu hari ini, benar-benar hebat. Anak-anak, susu yang tidak jelas siapa pemiliknya, rambut Lidia yang ditarik terus menerus, air yang tumpah, mandi dan kekacauan. Melelahkan memang, tetapi semuanya sangat menyenangkan. Kami semua tertawa bahagia.

5 jam sebelumnya, jam12.00. Makan siang.
Kami berjalan beriringan menuju kamar tempat anak-anak itu tidur dan bermain. Berdasarkan penjelasan Pak Agus –perawat anak-anak di YSI, saat ini adalah jam makan siang untuk anak-anak itu. Kami bisa ikut membantu menyuapi mereka makanan. Dilantai satu, ruangan untuk anak laki-laki sudah ada Ika, Rini, Murni dan Larra. Sehingga kami berempat –aku, Sofi, Lidia dan Ajeng mendapat ruangan anak perempuan di lantai dua.
Aku berjalan menaiki tangga ke lantai dua mengikuti Ajeng, Sofi dan Lidia. Didinding tangga terpaku foto-foto anak-anak YSI dan beberapa perawat dan volunteer yang sering membantu, aku melihatnya satu persatu. Semuanya terlihat senang dan bahagia, kupikir kami mungkin bisa berfoto bersama dan memasangnya didinding itu juga.
Sampai di anak tangga terakhir, suara keributan sontak terdengar dari pintu kamar anank-anak perempuan. Kulihat Lidia dan Sofi berdiri dekat pintu, seolah-olah bingung akan melakukan apa. Dengan rasa penasaran dan ragu, aku berjalan masuk dan membuka pintu. Dan Wow! semuanya tampak heboh, menurutku. Ada dua anak yang tidak bisa diam sehingga sulit disuapi makanan, beberapa anak lain ada diatas tempat tidur sehingga harus diberikan secara perlahan-lahan dan beberapa anak lainnya masih makan dengan berantakan. Para perawat terlihat kewalahan dengan situasi ini, sampai-sampai kehadiran kami tidak begitu diperhatikan (kasihan..). Aku lalu berinsiatif untuk membantu menyuapi Humay, anak kecil yang sempat bermain denganku di pendopo.
Saat aku akan menyuapi Humay, seorang anak kecil yang juga perawat di YSI menegurku.
“Mbak, Humay sekarang lagi diajarin buat makan sendiri, jadi gak perlu disuapin.” ucapnya.
“Oh, iya-iya, Maaf ya, saya nggak tahu, Terima kasih.”
Aku lalu memberikan sendok makan tersebut kepada Humay, kuletakkan dan kuatur sendok itu agak bisa dia gunakan dengan baik. Aku melihat dan mengamati bagaimana Humay belajar makan sendiri, walaupun terkadang dia menyuapkan sendok yang tidak ada isinya, Humay tetap makan dengan tenang. Sesekali Juwita, Nurul dan Deva datang mengganggu dan mengambil makanannya, tapi dia tidak marah dan tetap melanjutkan makannya.
Setelah makan siang, para perawat itu kembali masuk kedalam ruang pelatihan, sebelum mereka pergi salah seorang perawat memintaku dan Ajeng untuk memberikan susu untuk anak-anak itu tepat jam 2 siang. Dengan penuh semangat aku menyanggupinya, aku berusaha mengingat semuanya satu persatu. Susu untuk Humay, Kazumi, Bella, Mitha, Jelita, Yasmin, Ines, Dodon, dan anak-anak lainnya.
Yakin kami berdua mengingatnya dengan baik, perawat itupun pergi meninggalkan kami ber-empat dengan dua puluh anak lebih. Dan kehebohan selanjutnya dimulai. Menit-menit awal beberapa anak belum bisa tidur, Juwita dan Nurul masih asyik bermain dengan Sofi dan Lidia. Aku sendiri sibuk menina-bobo kan Humay yang tidak kunjung mengantuk. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan Humay yang berjalan melihat anak-anak yang lain.
Jam 2 siang. Aku mulai menyeduh susu untuk anak-anak itu. Rencananya aku ingin menyeduhnya satu persatu dan memberikannya pada tiap anak. Namun, saat aku sedang memberikan susu untuk Yasmin, Kazumi tiba-tiba menangis. Aku khawatir tangisannya akan mengganggu tidur anak-anak yang lain. Aku mencoba untuk meminta tolong pada teman-temanku yang lain, tetapi mereka terlihat sibuk dengan urusan yang lain.
Aku mencoba melepaskan botol susu untuk Yasmin dan beranjak menyeduh susu untuk Kazumi, namun Yasmin justru menangis karena tidak bisa memegang botol susunya sendiri. Dengan rasa bersalah aku membiarkan Kazumi menangis dan tetap membantu Yasmin. Barulah setelah Yasmin selesai, aku memberikan susu untuk Kazumi. Dia minum dengan tenang dan habis tanpa sisa, kurasa dia bangun dari tidur karena sangat kehausan.
Selanjutnya, aku mencoba memberikan susu untuk Dodon dan pergi untuk menyeduh susu yang lain. Tetapi bukannya meminum susu, Dodon justru menangis dan terus menangis. Aku bingung harus melakukan apa, disaat yang sama anak-anak yang lain juga harus diberikan susu. Aku lalu meminta tolong pada Ajeng untuk menyeduh susu yang masih ada dimeja dan memberikannya untuk anak-anak itu.
“Wah! Aku nggak tahu, Da. Aku ingetnya cuma susu buat Jelita aja.” jawabnya.
Astagfirullah! Kutepuk jidatku sendiri. Bagaimana ini? Pikirku. Aku lalu berinsiatif menggendong dan membawa Dodon keluar dari ranjangnya, mungkin dia merasa tidak nyaman didalam sana bersama Deva yang terus-menerus bergerak. Namun, diluar Dodon tetap tidak mau meminum susunya. Dia tidak henti-hentinya menangis. Aku lalu meminta tolong bantuan dari Lidia, padahal dia sendiri sedang sibuk mengepel lantai. Untungnya, dia mau membantuku.
Aku beranjak menyeduh susu yang lain dan menyuapi ke anak-anak yang lain. Khusus untuk Ines, aku harus menyuapinya dengan bantuan alat semacam suntik. Susu itu harus dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam mulutnya. Disaat yang sama aku harus kebingungan memikirkan satu botol susu yang tak kunjung aku tahu siapa pemiliknya. Baik Ajeng, yang notabenenya mendapat mandat untuk memberikan susu, ataupun teman-temanku yang lain benar-benar tidak tahu siapa pemilik susu itu. Aku sungguh dibuat pusing karenanya, “Hei! Ini susu punya siapa sih?” Jeritku dalam hati.
Tiga puluh menit memberikan susu seperti tiga puluh jam, kekacauan ada dimana-mana. Seharusnya, berdasarkan jadwal anak-anak itu harus kembali tidur. Tetapi, bukannya tidur beberapa anak malah asyik bermain dengan para volunteer. Lebih tepatnya, sedang asyik mem-bully kami semua. Jelita, Nurul, Ayu dan Bella tidak henti-hentinya tertawa dan bermain. Lidia dan Sofi, yang jadi objek tertawaan mereka tentu tidak bisa menolak diajak bermain. Karena saking serunya bermain, beberapa anak yang tadinya sudah tidur akhirnya bangun dan menangis.
Satu anak yang membuatku bingung harus melakukan apa adalah Mita. Dia tidak henti-hentinya menangis, disaat yang sama aku harus menenangkan anak yang lain, Mita terus saja menangis. Ibu Safitri yang kebetulan datang membantu kami ber-empat juga bingung dibuatnya. Akhirnya, aku mencoba mendekati Mita dan mengelus-ngelus kepalanya sambil bersenandung lembut. Berita bagusnya, Mita memang bisa tenang kalau bersamaku teteapi kalau aku coba untuk pergi dan mengerjakan yang lain, dia akan kembali menangis. Oleh karena itu aku terus berdiri disampingnya dan mengelus kepalanya. Tidak lama kemudian, Humay bangun dan juga mencariku. Sepertinya aku laku juga diantara anak-anak ini. Dan jadilah tangan kananku mengelus kepala Mita dan tangan yang satunya aku menggendong Humay yang masih terlihat mengantuk. Hebat!
Sepanjang sore kami habiskan dengan bermain dan bercanda bersama. Tidak lama kemudian, seorang ibu-ibu paruh baya datang. Dia meminta kami untuk membantu memandikan anak-anak. Tentu saja kami kaget, sejak awal kami tidak pernah diminta untuk membantu memandikan mereka. Tetapi, mau tidak mau kami tetap melakukannya. Maka, kekacauan bagian selanjutnya dimulai.
Anak-anak itu terlalu bersemangat untuk mandi, mereka berlomba-lomba mencoba membuka pakaian mereka sendiri. Saking hebohnya, kami melihat pemandangan yang hebat. Seorang anak yang tanpa pakaian yang berkeliaran belum dapat giliran untuk mandi, seorang lagi yang sudah basa kuyup dan harus diberikan dan dipakaikan baju serta popok secepatnya, beberapa yang lain masih setengah telanjang. Belum lagi keadaan yang mengkhawatirkan saat kami harus membuka dan mengganti popok tiap anak, ada yang masih bersih, ada yang sudah ada kotorannya.
Aku sudah lupa harus memakaikan popok dan pakaian kepada siapa saja, mereka semua sama repotnya dengan kami. Belum lagi Dodon yang tidak mau berhenti menangis saat aku mencoba memakaikannya baju, Deva yang tidak bisa berhenti bergerak, baju Humay yang harus diganti berkali-kali, popok yang berserakan, Jelita yang minta main lagi dan semuanya. Hebat. Kacau. Menyenangkan.
Setelah semuanya selesai, aku turun ke pendopo. Teman-temanku tampak sama lelah dan bingungnya sepertiku. Di pendopo, aku langsung merebahkan badan dan menutup mata.
“Ini dimana?” kataku.
Teman-temanku yang lain hanya bisa tersenyum dan mengatakan hal yang sama. Mungkin efek syok, lelah dan berbagai hal lainnya membuat kami seperti hilang ingatan. Setelah beristirahat sejenak, kami pamit kepada pemilik Yayasan dan volunteer yang lain.
Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Hanya sekali-kali aku tersenyum mengingat berbagai peristiwa yang terjadi. Kembali aku teringat dengan kata-kata Pak Agus saat menjelaskan kepada kami mengenai keadaan anak-anak itu dan Yayasan Sayap Ibu.
“Mereka hidup untuk kita.”

Ya, benar. Anak-anak disabilitas ataupun anak yang cacat seperti mereka ada dan hidup untuk kita. KITA yang sempurna dan bisa melakukan berbagai hal, agar kita sadar dan mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Terima kasih adik-adikku, terima kasih Ibu Safitri, terima kasih Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Personologi Theory: Henry Murray

Observasi: pengantar 'bagian 1'