Si Gadis


Gadis itu berbaring dan menatap nyalang pada langit-langit kamarnya. Pukul 1 dini hari, dan dia belum tidur. Pikirannya mengembara entah kemana, begitu pula kantuk yang enggan singgah walau sebentar. Sebenarnya dia selalu tidur larut malam, saking seringnya dia mulai berpikir bahwa tidur tepat waktu adalah salah satu keajaiban hidupnya yang harus diabadikan dalam plakat bersepuh emas. Tidak tidur semalaman seolah-olah bukan lagi gaya hidup yang salah –menurutnya, bahkan si gadis sudah mendeklarasikan bahwa kopi adalah belahan jiwanya.

Entah sejak kapan semua itu terjadi, dia sendiri bahkan telah lupa kapan tepatnya. Kebiasaan tidur larut dengan segelas kopi ditemani laptop atau sebuah novel menjadi sesuatu yang paling ditunggunya setiap hari. Paling didambanya. Yah.. walaupun boleh kukatakan, tidak setiap malam dia menghabiskannya dengan dua kombinasi itu: kopi + laptop atau kopi + novel. Banyak hal yang dilakukannya dalam kurung waktu 8 jam dimalam-malam yang sunyi dan tenang itu. Seolah-olah dia ‘paling hidup’ pada detik-detik itu, menjadi sangat produktif, sangat bersemangat. Seperti yang kukatakan, si gadis sangat menyukai 8 jam yang gelap dan tenang itu.

Tetapi, aku tidak tahu mengapa dia tidak menyukai malam ini. Sangat tidak suka, bahkan mungkin membencinya. Si gadis tak tidur, dan memang tak bisa tidur. Kamarnya tidak dalam kondisi yang biasa. Gelas dan botol minum berserakan, pakaian-pakaiannya juga, kabel, handphone, kemoceng, tempat pensil, semuanya ‘berpindah tempat’. Ah.. tidak, tidak. Dia tidak habis mengamuk di kamarnya sendiri –kalau kau berpikiran begitu sih. Dia juga bukan tipe gadis jorok, sebab sepanjang aku mengenalnya.. dia adalah sahabat dari kalimat ‘bersih, rapi, dan tertata’. Kadang aku berpikir bahwa gadis itu punya masalah obsessive compulsive pada kebersihan. Dan yang kutahu dia tidak suka kamarnya terlalu terang, tetapi malam ini dia membiarkan lampu kamarnya menyala seterang-terangnya. Sampai-sampai membuatku kepanasan.

Seperti yang kukatakan sebelumnya: pikiran si gadis bermain-main entah kemana. Meninggalkan kepala dan badannya yang terbujur kaku seperti mayat dilantai tanpa alas. Pikiran si gadis melompat dari satu hal ke hal lainnya: Masa lalu – masa depan. Dunia nyata – khayalan dan ilusi. Persetujuan – perdebatan. Satu orang – dua orang – orang-orang – orang banyak. Pikiran si gadis seperti mengendarai time capsule Doraemon yang bisa berpindah kemanapun dia mau. Kapan pun dia berkehendak. Sesukanya.

Namun, tiba-tiba saja si gadis menangis. Manik matanya masih mengarah pada langit-langit kamar, kelopak matanya tidak bergerak sedikit pun.. dan dia menangis. Aku bingung: bingung dalam artian bahwa.. apa sebenarnya yang menarik dari langit-langit kamarnya itu. Aku saja bosan melihat langit-langit putih yang sama selama kurang lebih 300 hari, 7000 jam, 4.2 juta menit dan 252 juta detik dalam setahun. Aku bingung dengan apa yang sebenarnya membuat dia menangis, gara-gara pikirannya kah? Atau karena dia tidak kunjung berkedip dan akhirnya kelilipan? Lalu aku bingung apa yang harus kulakukan untuk gadis itu. Aku bingung dengan apa yang sesungguhnya membingungkanku. Aku bingung. Oke, lupakan.

Gadis itu menangis. Awalnya hanya satu air mata di mata kiri, jatuh dari sudut lalu langsung meluncur ke arah telinga. Meninggalkan jejak basah di daerah pelipis. Lalu tak lama kemudian, air lain berjalan keluar dari sudut mata kanannya, lantas sama seperti sebelumnya. Awalnya hanya satu-dua air mata, tetapi lama kelamaan menjadi banyak dan nyaris membasahi rambut-rambut kecil disekitar telinganya. Lalu air matanya berubah menjadi tangisan kesedihan, tangisan kesendirian, lalu dia menangis pilu. Dalam rangkulan tangan si gadis sendiri, bahunya berguncang hebat, bergetar cukup lama.. hanya karena dia tidak ingin orang lain tahu bahwa ia menangis malam ini. Si gadis membendung tangisnya yang meledak itu seorang diri. Menangis dalam diam. Menangis sendiri.

Rupanya.. pikiran si gadis sedang berhenti pada suatu waktu, suatu malam, suatu masa. Saat si Gadis menceritakan tentang ‘sakitnya’ pada si kakak. Memori waktu itu muncul seperti film lama tahun 80-an. Dan tiba-tiba saja si Gadis berbicara:


“Kak, apa kau tahu? Di malam kemarin, disaat kukisahkan sakitku. Aku menangis lagi. Ya, ya aku menangis karena haru. Akhirnya aku bisa menyampaikannya. Padamu. Satu-satunya dalam keluarga kita yang aku beritahu. Padahal selama ini, kaulah yang membuatku menangis. Dan ya –kau melakukannya lagi malam kemarin.


Kau sampaikan kisah-kisah masa kecil kita. Masa-masa dimana –menurutmu, kita banyak tertawa. Ya, tertawa bersama-sama. Tetapi tahukah kau kak? Saat kau menceritakannya. Aku justru menangis. Karena aku menyadari sesuatu.. Aku tidak mengingatnya. Aku tidak mengingat apa yang membuat kita tertawa bersama, aku lupa apa yang dulu membuatku bahagia. Dan aku menangis karena itu.


Hanya ada satu memori yang paling sering muncul dalam pikiranku, jika ada orang lain yang bertanya tentang masa kecilku. Aku hanya selalu mengingat kondisi dan keadaan yang sama –atau paling tidak sama dengan itu. Aku melihat anak perempuan kecil. Dia sendirian dibawah kolong ranjang –lututnya dia tekuk dan dia peluk sangat erat dengan kedua tangannya, lalu ia sembunyikan wajahnya diatas kedua lutut kecilnya. Dia meringkuk seperti janin, dibawah kolong yang gelap itu, di petak lantai ukuran 2x2 itu. Dia menangis. Menangis tersedu-sedu seorang diri. Dan entah mengapa.. aku selalu mendengar apa yang dia ucapkan dalam kepalanya:


Tidak apa-apa

Kau aman disini

Kau aman dalam duniamu ini

Tidak akan ada yang menyakitimu disini

Tidak apa-apa menangis

Kau akan bisa membalas mereka nanti

Orang tuamu akan tahu dan membelamu, nanti..

Tidak apa-apa

Mereka tidak boleh tahu kau menangis

Mereka tidak boleh melihat kau menangis

Tidak apa-apa..


Gadis kecil itu mengulangnya berkali-kali, kak. Seperti doa, seperti mantra, seperti harapan,.. yang selalu dibawanya ke dasar mimpi tanpa sadar. Seperti.. dia”

Dan begitulah. Si Gadis kini tertidur dengan kelopak mata bengkak sehabis menangis. Kamarnya masih berantakan. Lampunya juga masih dibiarkan menyala. Dan aku masih disini, didekatnya. Selalu mendengarkan apa yang dia ucapkan ataupun yang dipikirkannya. Si gadis suka bercerita tentang apa yang dirasakannya, apa yang direncakannya ataupun apa yang dipikirkannya. Diceritakannya pada orang lain dan –lebih sering– diceritakannya pada dirinya sendiri, atau pada buku, pada pantulannya dicermin, pada udara, pada ruang-ruang kamarnya, padaku.

Postingan populer dari blog ini

Personologi Theory: Henry Murray

Observasi: pengantar 'bagian 1'

Kisah Sehari di Yayasan Sayap Ibu Bintaro