Hari air sedunia 2018: nature for water
Selamat
hari air se-dunia!
Air menutupi hampir 3/4 bagian bumi. Air mengalir dari tempat
tinggi ke tempat yang rendah juga dapat berubah bentuk: cair, padat, dan gas. Salah satu hal yang menarik adalah air selalu berjumlah sama sejak berjuta
tahun yang lalu. And fyi bagian bumi yang penuh misteri kebetulan ‘kebetulan’
ada di air –Palung Mariana, Samudera Pasifik. Kemudian, bila kalian sempat
membaca tentang teori asal usul kehidupan.. Oparin dengan evolusi biokimianya
berpendapat bahwa makhluk hidup pada dasarnya berasal dari senyawa organik dalam
sup primordial yang ada di lautan panas. Atau mari kita lihat di Surah
Al-Furqon ayat 54 “Dan Dia (pula) menciptakan manusia dari air, lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”.
Sama dengan bumi, lebih dari setengah tubuh manusia terdiri atas
air: tulang, daging, darah, paru-paru, otak, bahkan di bagian yang tidak kita
sangka sekalipun. Manusia hanya sanggup bertahan 3-5 hari tidak minum air
sedikit pun, sedangkan dengan tidak makan apa-apa manusia dapat bertahan kurang
lebih 8 minggu dengan catatan masih mengonsumsi air. Manusia membutuhkan air
untuk kehidupan sehari hari. Mulai dari bangun tidur kemudian mandi dan
mencuci, manusia membutuhkan air. Memasak makanan dan makan pun butuh air,
begitu pula ketika pacaran dan putus cinta.. manusia membutuhkan air. Entah
untuk menangis, minum hingga mabuk, atau sekedar meratapi nasib di bawah
guyuran hujan. Litterally, manusia benar-benar membutuhkan air.
Menurut sejarahnya, hari air sedunia atau World Day for Water lahir
tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Saat itu badan PBB yang berfokus pada
lingkungan dan pembangunan –UNICED menyampaikan isu tentang krisis air bersih
dan permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan tentang air. Maka, semenjak
saat itu PBB dan anggotanya menyerukan dan mempromosikan hari air dengan
kegiatan nyata. Setiap tahun perayaan hari air dunia memiliki tema-tema yang
berbeda. Misalnya di tahun 1995 bertema “air dan perempuan”, tahun 2017 “manfaatkan
kembali air limbah dan selamatkan bumi dari krisis air bersih” dan di tahun
2018 ini diusung tema “nature for water”. Tema ini digunakan dengan
harapan dapat mengajak seluruh penduduk bumi untuk mencari solusi dengan ‘cara
kita’ memanfaatkan alam untuk mengatasi krisis air bersih. Tentu dapat kita
lihat bahwa lingkungan sekitar kita mulai rusak, cuaca dan iklim yang berubah
tak menentu seperti sindrom menstruasi para wanita. Satu daerah banjir
bandang, sedangkan daerah yang lain tanahnya kering berdebu karena tidak
dikunjungi hujan dalam waktu lama, serta berbagai masalah lainnya yang
berkaitan dengan air.
Situs World Water Day menyebutkan bahwa 2.1 miliar orang di
dunia hidup tanpa air yang aman untuk dikonsumsi. Kita tidak perlu jauh-jauh
menengok ke negara-negara di benua Afrika sana, mari kita sedikit melirik pada
saudara senegara kita sepanjang bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta. Mereka mandi
disana, mencuci, membuang sampah, dan melakukan sebagian besar kegiatan yang
membutuhkan air dengan memanfaatkan air dari sungai Ciliwung. Memasak dan
minum? Entahlah.. Bila mau, kalian bisa mencarinya diberbagai portal
berita tentang betapa ‘krisis’-nya kehidupan saudara-saudara kita disana.
Permasalahan krisis air bersih tidak hanya dialami oleh penduduk
disekitar Sungai Ciliwung. Semua orang di Jakarta mengalaminya, termasuk saya
dan mungkin juga Anda. Nah, seberapa banyak produk air mineral yang Anda
ketahui? Satu? Dua? Saya yakin Anda mengetahui cukup banyak, atau paling tidak
Anda tahu bahwa saat ini tidak hanya ada satu produk air mineral yang ada dipasaran.
Dari yang biasa sampai yang ada manis-manisnya begitu. Hahaha.. Oke, intinya
adalah apakah kita sadar bahwa saat ini mayoritas orang ‘membeli’ air untuk
dikonsumsi? Untuk memasak, untuk minum, membuat teh, membuat kopi. Di rumah, di
kantor, di jalan, di sekolah, dimana-mana. Dari sudut pandang ekonomi, hal ini
dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru: produsen air mineral dalam kemasan,
distributor, hingga pengumpul plastik kemasan air mineral itu. Namun, bukan itu
inti yang ingin yang saya sampaikan.
Dulu di Jakarta, mungkin orang-orang tidak perlu berebut lahan
untuk membangun tempat tinggal. Sekarang? Harga sepetak ruangan ukuran 3x4
meter saja paling murah sekitar 1jt untuk tiap bulannya, itu pun masih terhitung
sebagai penyewa, bukan menjadi pemiliknya. Dulu, mungkin orang-orang
tidak perlu berebut air bersih atau berjalan sampai berkilo kilo meter hanya
untuk memperoleh air. Sekarang? Tidak ada yang gratis dan mudah, sobat.
Bahkan untuk buang air kecil di tempat tertentu pun harus membayar. Apakah
mungkin.. suatu hari nanti orang-orang akan bersengketa karena masalah air?
Bisa jadi.
Meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya akan meningkatkan
jumlahnya kebutuhan air bersih. Namun, peningkatan ini juga menyebabkan
meningkatnya degradasi tanah sehingga ruang untuk menampung air semakin berkurang.
Meskipun lebih dari setengah bumi ditutupi oleh air, sebagian besar air
tersebut adalah air asin yang tak dapat dikonsumsi. Sedangkan air tanah yang
dapat dikonsumsi membutuhkan waktu seumur hidup manusia untuk bergerak sejauh 2
km. Sementara itu, hutan-hutan yang tidak hanya menjadi paru-paru dunia tetapi
juga jadi sumber penyimpanan air semakin berkurang luasnya. Maka, bukan hal
mustahil jika krisis air akan semakin menyebar ke berbagai daerah. Dan banjir
serta longsor tidak dapat dipungkiri kedatangannya.
Dari sudut pandang penggunaan, mungkin banyak dari kita yang masih
menggunakan air dengan cara yang berlebihan atau dengan ‘semena-mena’. Coba
tengok pabrik-pabrik yang membuang limbahnya ke sungai, atau lihatlah
sampah-sampah pada selokan-selokan yang kalian lewati. Pembuangan limbah yang
tepat dan pembuangan sampah pada tempatnya tidak akan menyebabkan air menjadi
tercemar sehingga air yang ada, dapat digunakan untuk kebutuhan lain. Sekitar
80% air buangan sisa pakai sehari-hari kembali lagi ke lingkungan tanpa pemanfaatan
kembali. Menyedihkan, bukan?
Bila saya mengingat masa-masa di
akhir tahun 90-an hingga awal 2000-an dikampung saya, air cukup mudah
diperoleh. Meskipun harus berjalan sekitar 500 meter ke sungai untuk mendapatkan
air, paling tidak kami tidak perlu membeli air untuk dikonsumsi. Airnya bersih,
dingin, jernih. Saya biasa berenang di sungai, mencari ikan, batu, atau melihat
kuda-kuda tetangga dimandikan. Benar-benar nyaman dan menyenangkan. Tak ada air
dalam kemasan, tak ada yang bekerja sebagai pengantar air, tidak ada yang
mengumpulkan plastik kemasannya, tidak perlu rebutan, tidak perlu bayar untuk
sekedar buang air kecil ataupun buang air besar. Air kemasan tak begitu dilirik
dikampungku, saat itu.
Namun, sekarang semuanya berubah.
Bukan karena Negara api yang menyerang ke kampungku. Hanya saja, entah kenapa
krisis air kota di kota besar juga mempengaruhi kampungku yang jauh di timur
sana. Hujan jarang turun dan sungainya mongering, lalu kami mulai membeli air
dalam kemasan.. entah besar ataupun kecil. Sedih? Iya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah mulai menggunakan kb agar jumlah populasi tidak meledak? Tidak membeli air dalam kemasan? Atau mengubah air asin menjadi air yang dapat dikonsumsi? Hahahaha.. Cara apapun selama cara itu bersahabat dengan alam dan sesuai dengan kemanusiaan Anda, silakan dilakukan. Namun, cara yang paling sederhana adalah menanamkan kesadaran dalam diri kita betapa pentingnya air tidak hanya untuk kita tetapi juga untuk generasi yang akan datang, dan untuk keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Buang sampah di tempat sampah, menggunakan air secukupnya dan seperlunya, ikut membuat ruang terbuka hijau atau melakukan reboisasi, atau belajar mengolah penggunaan air sehari-hari agar dapat diolah kembali kemudian sebarkan!! Love the nature, love the water. Happy World Day for Water. Lets act! J