Surat Untuk-mu yang Ke-56
“Dari mana asalnya?”
“Bulukumba”
“Bulukumba? Itu dimana?”
Pertanyaan mengenai dimana Bulukumba itu menjadi pertanyaan
yang tidak asing ditelingaku, apalagi setelah aku tinggal di Jakarta. Banyak
yang tidak tahu atau mungkin tidak ingin mencoba mencari tahun dimana kampungku
itu. Karena banyak yang bertanya demikian, maka akan kuceritakan dan
kuperkenalkan Bulukumba padamu. Ya, mari bertemu dengan Bulukumba-ku..
![]() |
Letak wilayah Kabupaten Bulukumba |
Bulukumba adalah kota kabupaten di ujung selatan provinsi
Sulawesi Selatan. Luasnya dua kali kota Makassar atau kota Jakarta, namun
kotaku itu tidak sepadat, semacet, ataupun seramai kedua kota besar itu.
Setengah wilayahnya terdiri dari perbukitan dan setengahnya lagi dikelilingi
oleh pantai-pantai. Rumahku–yang ada dipinggir kota Bulukumba dan berada di
daerah pesisir pantai. Dulu, garis
pantai itu kurang lebih 500 meter bahkan
bisa sampai 1 km saat surut. Dulu, masa-masa
kecilku banyak kuhabiskan di pantai dekat rumah: Berenang, mencari udang,
bermain layangan, kejar-kejaran, bermain bola pasir –yang kami sebut badabu’–mengumpulkan kulit kerang,
ataupun sekedar duduk menikmati laut. Dulu,
aku, saudara-saudaraku, dan teman-teman sepermainanku sering berjalan
melewati bibir pantai ke Pelabuhan Leppe’e
untuk berenang bersama setiap hari minggu pagi. Sekarang ini, aku baru
memikirkannya.. mengapa kami memilih berjalan cukup jauh ke pelabuhan itu untuk
berenang padahal air laut dimana saja akan tetap sama–asin. “Ah.. mungkin
karena di pelabuhan itu, orang-orang lebih ramai berkumpul dan berenang
bersama?” Ya. Awalnya kupikir juga begitu. Akan tetapi, bukankah lebih seru dan
nyaman berenang di pantai yang sepi? Kita bisa berenang bebas layaknya ikan
tanpa harus khawatir dan peduli dengan orang-orang disekitar? Dulu, aku masih bisa menemukan banyak
kulit kerang yang cantik atau batu-batu kecil yang bentuknya seperti bakpau dan
salah satu permukaannya ada garis melingkar seperti obat nyamuk–ini favoritku. Dulu, aku ataupun yang lain masih bisa
menemukan ‘ranjau manusia’ di bibir pantai (orang-orang masih banyak yang BAB
di bibir pantai, dan saat menemukan benda itu, aku dan temanku pasti lari
terbirit-birit karena jijik). Ya, dulu..
Masa-masa kecilku yang lain kuhabiskan dijalan depan rumahku
atau dipekarangan rumah para tetangga. Jalan di depan rumah cukup luas untuk
dilalui dua mobil truk yang bersisian. Dulu,
jalan itu masih jalan tanah berbatu yang saat musim hujan akan jadi licin, becek,
dan berlubang sehingga Bapak kerja bakti menutupi lubang itu dengan tanah.
Namun, saat musim kemarau jalan itu akan berubah menjadi jalanan panas dan berdebu,
sehingga setiap sore Bapak, Ibu, atau kakakku, atau aku, akan menyiramnya
dengan air dari sumur di pekarangan rumah ataupun dengan air selokan di depan
rumah. Dulu, di depan rumah masih ada
pohon nangka yang sering kupanjat saat siang dan melempari teman-temanku dengan
buah nangka hitam kecil. Dulu, di
pekarangan rumah tetangga seberang jalan tumbuh pohon kersen yang selalu
kupanjati sepulang sekolah. Dulu, setiap
sore aku dan teman-teman bermain kude’deng,
pole-pole, boi-boi, petak umpet,
buaya-buayaan di atas truk atau bermain lompat tali sampai magrib di jalan
depan rumah ataupun di pekarangan rumah tetangga. Ya, dulu..
Dulu, Pasar
Cekkeng masih sederhana tanpa lantai paving
block dan tidak jauh dari sana hanya ada daerah tanah rendah–semacam galian
yang cukup besar–yang kini menjadi taman Cekkeng. Dulu, di pinggir jalan samping SDN 10 Bulukumba hanyalah lapangan kosong
yang jadi tempat kambing dan sapi liar merumput. Dulu, toko semacam indomaret, alfamart ataupun alfamidi adalah
gerai toko yang hanya bisa ditemui di kota besar. Dulu, SDN 172 Borongkalukue masih bercat tembok merah-putih yang
mengelupas. Dulu, tepat dibalik
tembok pagar SMAN 1 Bulukumba.. berjejer pohon-pohon juwet alias coppeng yang sering kupungut buahnya
sambil menunggu Mamak selesai mengajar. Dulu,
Lapangan Pemuda hanya dikelilingi tembok putih kusam dengan lampu-lampu dan
pot-pot bunga rusak. Ah.. sangat banyak hal-hal berbau dulu di kampungku itu.
Sepanjang 18 tahun, kulihat kotaku bermetamorfosis dan
berkembang..
Tidak ada
lagi garis pantai sepanjang lebih dari 500 meter itu, hanya ada
tanggul penahan ombak sepanjang bibir pantai yang kini mulai bolong disana sini
agar ombak tidak mengikis tanah lebih jauh lagi. Tidak ada lagi kulit kerang cantik atau batu unik favoritku yang
bisa kutemukan, bahkan si ‘ranjau manusia’ pun tidak pernah tampak lagi. Tidak ada lagi –atau mungkin kurang–anak-anak
yang berbondong-bondong berenang ke Pelabuhan Leppe’e di minggu pagi. Mereka
asyik menghabiskan pagi dengan tidur dikamar sampai siang, menonton kartun di
televisi, atau berolahraga pagi di Lapangan Pemuda. Kini, jarang kulihat anak-anak dekat rumah bermain ke pantai
ataupun bermain bersama dipekarangan rumah tetangga, mereka terlihat lebih
senang bermain dengan gadget ditangan.
Jalan depan rumah sudah diaspal Pemda Bulukumba beberapa
tahun yang lalu. Bapak tidak perlu lagi menimbun lubang ataupun menyirami
jalanan. Pagar kayu rumahku yang kadang kupanjat juga sudah diganti Bapak
dengan pagar besi tinggi. Tak ada lagi
pohon nangka depan rumah, tak ada lagi pohon kersen, tidak ada lagi truk depan
rumah. Tidak ada lagi..
![]() |
Taman Cekkeng |
Pasar Cekkeng kini sudah
tertata rapih, ada taman tak jauh dari pasar itu. SDN 172 Borongkalukue–sekolah
dasarku dulu–sudah berganti kulit dan direnovasi. Kalau aku memandang ke arah lapangan
samping SDN 10 Bulukumba, aku tidak lagi melihat
lapangan itu. Kini, hanya ada
berbaris-baris kios pedagang buah disana. Indomart, Alfamart, bahkan Alfa midi
tidak lagi sulit ditemukan.. bahkan gerai-gerai toko itu sudah seperti jamur di
Bulukumba. Kios-kios pedagang baju cakar (cap
karung) yang dulunya hanya ada di Pasar Cekkeng dikala pagi, kini tak mau kalah dengan gerai toko
modern –ada dimana-mana.
Alun-alun Kota 'tugu kapal phinisi' |
![]() |
Mall Bulukumba |
Dulu, kalau
berjalan dari daerah Caile ke Pasar Sentral Bulukumba.. di tempat yang sekarang
telah berdiri Mall Bulukumba, akan tampak di matamu hamparan sawah luas nan
hijau. Indah. Sekarang, sawah-sawah
itu sudah tidak ada.. Lapangan Pemuda juga tidak sekedar dikelilingi tembok
putih kusam, kini pinggirannya sudah dikelilingi tembok yang berlantai keramik.
Setiap pagi dan sore hari banyak yang berolahraga dilapangan itu, dan di malam
hari menjadi tempat kongkow anak-anak muda di Cafe Galau. Sekarang.. lampu
merah tidak hanya ada di dekat kantor polisi, tetapi hampir ada
diperpatan-perepatan penting dan macet. Kini,
jalan depan Pasar Sentral sudah berjalur dua. Taman kota pun jadi tempat
nongkrong yang asyik begitupun hutan kota di sepanjang pesisir pantai merpati. Kini, telah rampung dibangun Islamic Center Dato Tiro Bulukumba yang menjadi salah satu ikon kota Bulukumba. Sangat
banyak yang berubah, sangat banyak yang tak lagi sama..
Islamic Center Dato Tiro - Bulukumba |
Namun, Bulukumba tetaplah kotaku. Bulukumba-ku. Pantai-pantainya tetap berpasir
putih dan berair jernih. Sebut saja, Bira, Lemo-Lemo, Kasuso, Bara, atau Apparalang..
tak ada yang menandingi kecantikan mereka. Kajang masih menjadi tanah keramat,
daerah dengan pemimpinnya Ammatoa.
Kapal Phinisi yang dibuat para pelaut dan pengrajin daerah Ara, akan
keluar dan mengarungi lautan.. Namun kapal luar biasa itu akan tetap kembali ke
rumahnya, Panrita Lopi.
![]() |
Pantai Pasir Putih Bira |
![]() |
Pantai Bara |
![]() |
Pantai Kasuso |
Pantai Apparalang |
![]() |
Pantai Ujung Samboang |
![]() |
Kapal Phinisi |
![]() |
Masyarakat Kajang |
Mungkin Bulukumba-ku
belum se-terkenal kota-kota lain di Indonesia, tetapi aku tahu kampungku akan
berkembang dan terus berkembang. Memang akan ada yang berubah, akan ada yang
berganti.. Toh, menuju sesuatu hal yang lebih berguna itu hukumnya wajib?
Kotaku memang sederhana, tidak memiliki banyak keistimewaan. Tetapi, itulah
kampungku, Bulukumba-ku, kota-ku. Kampungku yang selalu mampu
memunculkan rindu, memanggilku pulang..
Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk kotaku, belum banyak
yang bisa kuberi untuk kampungku. Tetapi, kini
dengan lantang akan aku ucapkan pada orang-orang yang bertanya padaku: “Dari
mana asalmu?” Aku dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. Aku anak Panrita Lopi!!
Selamat ulang tahun yang ke -56 untuk kota Bulukumba, semoga kau berjaya dan menjadi lebih baik..
Keren
BalasHapusKeren
BalasHapusTerima kasih :)
Hapus